“Aku ini seorang pendusta.” Itu
kalimat singkat yang keluar dari bibir menggodanya. Aku masih setengah tersadar
saat dia meneleponku kemarin malam. Aku membayangkan ia telah mempersiapkan
diri dan hatinya kuat-kuat sebelum kalimat itu terucap. Rambutku masih kusut
masai. Kedua kakiku begitu nyeri dan linu, akibat seharian berada di lapangan
mendampingi bosku yang sedang menginspeksi pembangunan proyek mal super megah
di kota kami.
Aku tak menjawab apapun. Mataku
yang terasa berat dan tubuh setengah mati kelelahan, membuatku hanya diam dan
nyaris kehilangan kemampuan menerka emosi. Kututup sambungan telepon lalu
kulepas batere handphone. Tahu-tahu
aku sudah terbangun keesokan pagi, tanpa tahu mulai kapan aku tertidur. Kupasang
kembali batere handphone dan menyalakannya
dengan rasa was-was. Apakah semalam aku hanya sedang bermimpi? Ataukah itu
nyata dan aku setengah berharap semuanya memang benar-benar tak pernah terjadi?
Baru sekitar dua menit layar handphoneku aktif, dering khusus tanda
panggilan masuk darinya mengejutkanku.
“Halo,” aku membuka pembicaraan
dengan nada bergetar. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi,
untungnya ini hari Minggu sehingga aku tidak perlu terburu-buru mandi dan
berangkat kerja.
“Iya, halo. Bagaimana semalam?
Nyenyak tidurnya?” tanyanya lembut. Intonasi dan nada suara yang selalu
kurindukan.
“Nyenyak sekali, sampai-sampai aku
tidak bermimpi sama sekali,” jawabku.
Kudengar suara keran air diputar.
Bunyi air yang memancar deras sedikit menimbulkan suasana berisik.
“Kenapa keran airnya dibuka?
Suaramu jadi tidak terlalu jelas kedengarannya,” aku memprotes sebal karena
kurasa tingkah lakunya sangatlah aneh.
“Maaf ya, aku hanya ingin agar
suasana tidak terlalu sepi,” tukasnya perlahan, sangat khas dirinya yang seolah
berusaha menata kata-kata yang terucap dan ini menunjukkan dia sedang dirundung
gelisah.
“Masalah semalam..”
Belum selesai aku berkata dia sudah
menyela,”Sebaiknya kamu memikirkan lagi semuanya masak-masak. Aku ini orang
yang sudah tidak pantas untuk kau beri ketulusan apalagi kepercayaan, rasanya
aku bertindak kurang adil padamu,”
Terjadi lagi. Lelaki ini berkata
mengenai rasa bersalah yang sudah menyiksanya selama beberapa bulan. Alhasil
aku jadi teringat dengan peristiwa menyakitkan itu, lukaku kembali sedikit
menganga. Aku malas menanggapi perkataannya. Bagiku, masa lalu tetap akan
menjadi masa lalu bagaimanapun buruknya itu.
“Tentang perempuan itu lagi? Apakah
kamu sedang bimbang untuk kedua kali?”
“Bukan Giska. Hal ini berbeda. Aku
ini sudah pernah menyakitimu dan bagiku kesalahanku lalu tidak bisa
termaafkan,”
Ya aku masih ingat dengan jelas.
Ingatanku mungkin akan selalu menyimpan piringan hitam kejadian menyakitkan
itu, saat ia mengaku jika hatinya telah terbagi. Aku tak menangis. Hatiku
terasa kosong dan hampa. Justru aku tersenyum dan mengusap air matanya yang
mengalir. Aku merasa semua ini akan segera berlalu jika kami sama-sama berusaha
saling memperbaiki diri.
“Hal itu terjadi juga karena
sikapku yang terlalu keras dan bertingkah seenaknya sendiri,” ujarku.
Ganti dia yang diam. Bunyi keran
air di seberang menggantikan suara lembutnya. Aku seperti sedang bicara
sendirian. Tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah.
“Aku merasa, aku tidak pantas untuk
menjadi orang yang paling kamu sayangi,”
“Valdo Ardian Saputra. Dengarkan
kata-kataku,” potongku tak sabar sambil berkaca dan menatap wajahku yang
sedikit mengerikan. Mataku bengkak dan menghitam, sial mungkin aku menangis
sambil tertidur.
“Apakah kamu sendiri sudah
benar-benar bertekad untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu?” tanyaku lagi
seraya mengompres mataku dengan handuk kecil dan segenggam es batu.
Valdo, nama kekasih yang sangat
kusayang dan sekaligus sangat membingungkan ini tetap nyaman dengan keheningan.
Aku membayangkan kalau ia sekarang sedang menatap air yang memancar dari keran
dengan sikap khidmat, terhanyut dalam pusaran air dan pikirannya sendiri. Jika
berbicara tentang luka, sebenarnya aku juga menjadi pihak yang sangat
menderita. Perempuan mana yang siap mendengar cerita bahwa kekasihnya sempat
berpaling pada perempuan lain. Pukulan telak itu membuat duniaku sempat kabur,
namun sebelum aku meledak murka, aku berpikir sejenak.
Selama tiga tahun aku menjalin
kasih bersama Valdo, aku menjadi sosok egois yang tak mempedulikan perasaannya.
Aku sering menyalahkan Valdo atas hal-hal sepele yang seharusnya tidak menjadi
masalah besar. Pelan-pelan aku melatih Valdo untuk berpaling. Pasti dia menjadi
begitu lelah dengan sikapku hingga akhirnya ada seorang perempuan yang
memerhatikannya, hingga hatinya terbagi.
“Halo, halo, kamu masih di sana kan
Giska?” suara Valdo membuyarkan lamunanku.
Aku berkaca sekali lagi. Bengkak di
pelupuk mata sudah mulai berkurang,”Iya aku masih di sini,”
“Aku sangat mencintaimu, tapi aku
tak tahu apakah aku pantas untuk menjadi pendamping hidupmu. Mungkin sebaiknya
kamu mulai membuka mata dan hati pada orang lain,”
Aku terkesiap mendengar ucapan
Valdo barusan. Mudah sekali ia berkata seperti itu? Apa dia pikir, hanya dia
satu-satunya yang hancur? Aku tak pernah menyangka jika ia tega berbicara
seperti ini.
“Hmm, aku sudah memaafkan dan kamu
juga sudah menunjukkan banyak perubahan baik.
Tetapi jika sampai sekarang rasa bersalah membuatmu tidak mau berjuang
bersamaku lagi, apa yang bisa kulakukan? Kurasa sebaiknya kita merenung sendiri-sendiri
dulu. Sudah ya, aku harus mandi dan sarapan, sampai pikiranmu dan pikiranku
tenang, kita bisa melanjutkan pembicaraan lagi.” tanpa menunggu salam dari
Valdo aku memutuskan telepon.
***
Sepanjang perjalanan menuju
bioskop, aku hanya diam dan menatap jalanan Surabaya yang cukup lengang di hari
Minggu. Riva, sahabat baikku, berkali-kali mengomel karena aku tidak terlalu
menanggapi ocehannya.
“Udah deh Gis. Sekarang kan kita
mau nonton plus hang out buat
seneng-seneng. Mukamu jangan ditekuk macam kasur lipet gitu dong,” omelnya.
Riva menjemputku siang ini untuk menghiburku yang sedang galau- itu menurutnya.
Aku sendiri merasa justru yang butuh dihibur adalah dirinya, karena sepanjang
perjalanan ini Riva terus mengomentari orang-orang di sekelilingnya seolah
semua orang telah membuat kesalahan dan pantas menjadi sasaran komentar
pedasnya.
“Iya makasih kamu udah ngajak jalan
hari ini. But can you stop complaining?”
ujarku lirih, telingaku sudah pegal menampung semua komentar-komentar miringnya.
Terlepas dari semua itu, Riva adalah sahabat baik yang sangat perhatian
denganku, sudah hampir sembilan tahun kami berteman dan dia menjadi orang yang
paling cemas dengan kondisiku sekarang.
Dengan tangan kanan memegang setir
mobil, Riva mencubit bahu kananku gemas,”Huuh, kamu ini? Maaf kalo aku nyerocos
sampai bikin kuping sakit, but I looked
everything around us is so mess,”
‘Lebih berantakan hatiku,’ keluhku dalam hati,
Kami akhirnya sampai di mal tempat kami akan
nonton. Saat aku baru turun dari mobil, Riva berlari ke arahku dengan wajah
aneh,”Gis, lihat arah jam tiga,” perintahnya.
Aku menoleh ke arah yang
ditunjukkannya. Berdiri seorang pria cukup jangkung dan gagah dengan kacamata
hitam yang menghiasi wajahnya sempurna. Pria itu bersandar di samping mobil
Yaris warna hitam miliknya, sembari mengutak-atik handphone.
“Hmm, target? Atau itu salah satu
mantanmu yang entah keberapa?” tanyaku penuh selidik. Riva adalah gadis yang
mudah jatuh cinta. Dia paling lama betah berpacaran hanya dalam tempo dua
bulan, tapi dia tidak pernah berselingkuh hanya saja dengan Riva mudah sekali bosan.
Yang tak kusangka, pria itu menoleh
ke arahku. Aku tertangkap basah sedang memelototinya dengan penasaran,”Giska!”
panggil pria berkacamata itu.
“Hah, siapa dia Gis? Kenapa kamu nggak
pernah ngenalin cowok sekeren itu sama aku sih?” gerutu Riva.
“Aku sendiri juga lupa siapa dia,
Riv!” sergahku.
Pria itu berjalan mendekat ke arahku dan Riva.
Ia tampak keren dengan balutan jins biru tua belel dengan kaus polo berkerah
warna hijau tua, serasi dengan kulitnya kuning kecokelatan.
“Sudah lupa denganku ya? Ini aku
Kevin, teman sekelas waktu SMP dulu,” Kevin menyebutkan namanya sambil melepas
kacamata hitamnya. Astaga ternyata dia Kevin yang dulu tubuhnya kurus kerempeng
dan pemalu itu, sekarang telah berubah menjadi pria macho dan gagah seperti
ini.
Seketika aku terlempar pada
kenangan belasan tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SMP. Kevin yang dulu
sangat canggung tetapi cerdas, telah merebut perhatianku saat kami duduk di
bangku kelas dua. Matanya tajam dan indah. Kecerdasannya membuatku lebih
tertarik dibanding dengan kawan-kawan laki-laki lainnya yang sok pamer
kekerenan atau kekayaan. Dulu aku juga sering mendapati Kevin diam-diam mencuri
pandang padaku. Namun, semuanya tidak berkembang menjadi kisah cinta karena
waktu itu kami terlalu malu untuk mengungkapkan perasaan masing-masing.
“Heh, kok malah ngelamun sih Gis?
Jangan-jangan kamu udah lupa sama aku ya?” Kevin mengibas-ngibaskan tangannya
di depan wajahku.
Kontan saja mukaku memerah
karenanya. Entah kenapa suara Kevin terdengar seperti lonceng yang bersuara
nyaring namun tidak membuat sakit telinga. Rasanya ada dentam besar yang
mengiringi bunyi itu, gema yang menyenangkan. Ah, gawat apa yang kupikirkan
ini?
Aku menggeleng dan tersenyum malu.
Kevin balas tersenyum sampai gigi geligi rapinya tampak. Mata itu masihlah
sama. Mata tajam bagai telaga yang membuatku ingin menyelaminya.
***
Aku tidak pernah percaya dengan
konsep jatuh cinta pada pandangan pertama. Buatku cinta baru bisa tumbuh ketika
dua orang sering menghabiskan waktu bersama, mengenal kepribadian masing-masing
dan sesekali mengalami pertengkaran yang justru merekatkan hubungan. Cinta yang
disebutkan dari pandangan pertama itu bukanlah cinta, melainkan sebentuk rasa
kagum. Dan selama ini aku yakin jika kekuatan cintaku untuk Valdo sangatlah
kuat walau ia pernah melakukan kesalahan. Tetapi aku lupa, hati manusia adalah
benda yang sangat rentan. Pikiran terkadang tak bisa terkoneksi baik dengan
hati. Dan aku terlalu sombong untuk mengakui hal itu. Karena hatiku sekarang
sedang dihantam gelombang pasang yang membuatku gelisah. Gelombang itu bernama
Kevin.
“Malam minggu ini mau jalan
kemana?” tanya Kevin ketika kami sedang makan siang bersama di kafetaria dekat
kantorku. Kebetulan kantor Kevin dan kantorku hanya berjarak sepuluh menit
mengendarai mobil.
Aku berpikir. Sudah dua malam
minggu ini aku berkencan dengan Kevin dan aku telah berbohong pada Valdo,”Aku sudah kehabisan
alasan. Dua minggu lalu aku mengarang alasan sedang pergi dengan Riva, minggu
lalu aku bilang kalau sedang ada acara keluarga. Minggu ini kurasa aku harus
pergi dengan Valdo,”
Kevin mengerutkan alisnya. Mulutnya
ingin mengucap sesuatu tapi ia tahan. Kevin sendiri yang mau menjadi kekasih
gelapku, walau pasti itu mengiris harga dirinya sebagai pria,”Kapan kamu mau
lepas darinya?” tanyanya sabar.
Aku sendiri tidak tahu pasti.
Apakah saat hati terbagi, cinta akan benar-benar menjadi adil? Aku seorang
perempuan, tapi entah apa hatiku ini sudah berubah menjadi sepengecut ini? Aku
tak ingin melepas Valdo ataupun Kevin.
Melihat kediamanku, Kevin mendengus pendek
lalu ia memalingkan tatapannya ke arah lain. Kami sama-sama terseret kembali ke
dalam pesona masa lalu. Enam bulan lalu Kevin baru saja putus dari kekasihnya
yang tertangkap basah berselingkuh.
“Kamu juga berhak berbahagia kan,
Gis? Kamu terlalu baik untuk terus bersama laki-laki seperti Valdo,”
“Aku tahu rasanya,”
sahutku,”Sekarang aku tahu bagaimana galaunya ketika hati dan kerinduan kita
sedang terbagi. Selama ini aku menyepelekan rasa bersalah Valdo. Jujur,
sekarang aku merasa tidak berharga karena sudah tidak setia,” tak terasa dua
bulir air mata bening merayap turun hingga pandanganku sedikit kabur.
Sakit ya. Sakit sekali rasanya
ketika kita melanggar prinsip kita sendiri. Apakah perasaanku pada Kevin ini
tulus ataukah sebagai sebuah pelarian? Apakah perasaanku pada Valdo memang
sudah musnah atau aku hanya ingin membalas dendam? Tapi baik perasaanku pada
Kevin dan Valdo, sama-sama memiliki ketertarikan sendiri. Dengan Valdo, aku
bisa menunjukkan sisi dewasa dan ketegaranku sedangkan dengan Kevin aku bisa
menunjukkan semua luka yang kupendam. Aku ini punya dua sisi yang
membingungkan.
Drrt,
Drrt,
handphoneku bergetar, ada nama Valdo
terpampang di layar,”Halo,”
“Halo sayang. Malam nanti ada waktu
kan? Nanti aku jemput jam delapan ya, udah lama kita nggak nonton bareng,”
suara Valdo terdengar renyah. Hatiku sedikit ngilu mendengarkan intonasinya
yang penuh nada kerinduan. Kevin membuang muka tanda jengah. Setelah
berbasa-basi sebentar aku mengiyakan ajakan Valdo. Sebagian hatiku juga
merindukan sosoknya.
“Jadi?” tanya Kevin retoris.
Aku mengangguk dan menyesap habis orange juiceku. Setelah itu aku dan
Kevin menghabiskan makan siang kami tanpa berkata-kata. Bahkan saat
mengantarkanku kembali ke kantorpun, Kevin hanya diam dan mengemudi dengan
kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya. Aku mahfum. Pasti ia sedang terbkar
cemburu dan tidak terima dengan ketidaktegasanku.
***
Sudah tak tahan rasanya aku menyimpan
kebusukan ini terus-menerus. Tatapan Valdo yang amat mesra dan genggaman
tangannya yang erat, menunjukkan betapa rindunya ia kepadaku. Valdo juga
membicarakan rencananya untuk segera meminangku, apalagi kami sudah saling
mengenal baik keluarga masing-masing.
“Sayang, apa kamu tidak terlalu
terburu-buru untuk menikah?” aku berharap rencana ini masih sebatas angan-angan
saja.
Valdo menggeleng mantap,”Aku memang
merasa tak pantas untuk mendapatkan wanita sebaik dirimu, sayang. Tapi aku
tahu, terlalu lama meratapi diri hanya akan semakin menjerumuskan diriku. Aku
sadar, hanya kaulah yang ingin kulihat tiap pagi saat bangun dari tidur,”
“Aku selingkuh,” kata-kata itu
meluncur begitu saja dari mulutku.
Efek dramatis muncul di wajahValdo.
Wajahnya yang riang berubah menjadi penuh tanda tanya,”Ap..Apa? Tapi bagaimana
bisa?”
Dalam satu helaan nafas panjang aku
memuntahkan semua gumpalan menyesakkan ini. Herannya, Valdo sama sekali tidak
marah atau menghakimi. Menurutnya itu wajar terjadi karena mungkin aku sudah
terlampau kecewa padanya.
“Terus terang aku terkejut. Tetapi
aku tetap kukuh pada keputusanku. Cintamu itu hanya cinta sesaat, Giska
sayang,” Valdo berusaha menjaga ritme suaranya agar tidak bergetar.
Aku berdiri. Kutinggalkan Valdo
dengan hati yang hancur berantakan. Kutelepon Kevin dan kukatakan jika aku
sudah mengatakan semuanya pada Valdo.
“Jadi, kita sekarang bisa bersama?”
“Tidak. Aku juga tidak akan
memilihmu. Maafkan aku Kev,” kututup
telepon sebelum tangisku semakin keras terdengar.
Sempurna. Hujan gerimis mulai turun
dan aku tidak membawa payung. Kuputuskan untuk berjalan di bawah hujan,
berharap tangisanku tidak menarik perhatian. Hatiku benar-benar patah menjadi
dua bagian. Dua bagian itu tercerai bersama dengan dua pria yang sama-sama kucintai.
Ah, brengsek sekali aku ini. Selalu berkoar soal kesetiaan dan ketulusan cinta,
tapi ternyata ujung-ujungnya nol besar.
“Wanita cantik tidak seharusnya
jalan-jalan sendirian di tengah hujan begini,” sebuah suara menghanyutkan
membuat lamunanku berhenti. Seorag pria jangkung dengan lesung pipit manis
membagi payungnya denganku.
“Terima kasih,” jawabku singkat.
Jantungku yang semula seolah
berhenti berdetak mulai bekerja lagi. Hei, ini gila. Aku belum mengenal
namanya. Apakah ini tanda sebuah rasa? Tuhan, tolong hentikan waktu sekarang
juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar