Rabu, 02 April 2014

Cinta Abu-Abu (Karya Reffi Dhinar)



“Aku ini seorang pendusta.” Itu kalimat singkat yang keluar dari bibir menggodanya. Aku masih setengah tersadar saat dia meneleponku kemarin malam. Aku membayangkan ia telah mempersiapkan diri dan hatinya kuat-kuat sebelum kalimat itu terucap. Rambutku masih kusut masai. Kedua kakiku begitu nyeri dan linu, akibat seharian berada di lapangan mendampingi bosku yang sedang menginspeksi pembangunan proyek mal super megah di kota kami.
Aku tak menjawab apapun. Mataku yang terasa berat dan tubuh setengah mati kelelahan, membuatku hanya diam dan nyaris kehilangan kemampuan menerka emosi. Kututup sambungan telepon lalu kulepas batere handphone. Tahu-tahu aku sudah terbangun keesokan pagi, tanpa tahu mulai kapan aku tertidur. Kupasang kembali batere handphone dan menyalakannya dengan rasa was-was. Apakah semalam aku hanya sedang bermimpi? Ataukah itu nyata dan aku setengah berharap semuanya memang benar-benar tak pernah terjadi?
Baru sekitar dua menit layar handphoneku aktif, dering khusus tanda panggilan masuk darinya mengejutkanku.
“Halo,” aku membuka pembicaraan dengan nada bergetar. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi, untungnya ini hari Minggu sehingga aku tidak perlu terburu-buru mandi dan berangkat kerja.
“Iya, halo. Bagaimana semalam? Nyenyak tidurnya?” tanyanya lembut. Intonasi dan nada suara yang selalu kurindukan.
“Nyenyak sekali, sampai-sampai aku tidak bermimpi sama sekali,” jawabku.
Kudengar suara keran air diputar. Bunyi air yang memancar deras sedikit menimbulkan suasana berisik.
“Kenapa keran airnya dibuka? Suaramu jadi tidak terlalu jelas kedengarannya,” aku memprotes sebal karena kurasa tingkah lakunya sangatlah aneh.
“Maaf ya, aku hanya ingin agar suasana tidak terlalu sepi,” tukasnya perlahan, sangat khas dirinya yang seolah berusaha menata kata-kata yang terucap dan ini menunjukkan dia sedang dirundung gelisah.
“Masalah semalam..”
Belum selesai aku berkata dia sudah menyela,”Sebaiknya kamu memikirkan lagi semuanya masak-masak. Aku ini orang yang sudah tidak pantas untuk kau beri ketulusan apalagi kepercayaan, rasanya aku bertindak kurang adil padamu,”
Terjadi lagi. Lelaki ini berkata mengenai rasa bersalah yang sudah menyiksanya selama beberapa bulan. Alhasil aku jadi teringat dengan peristiwa menyakitkan itu, lukaku kembali sedikit menganga. Aku malas menanggapi perkataannya. Bagiku, masa lalu tetap akan menjadi masa lalu bagaimanapun buruknya itu.
“Tentang perempuan itu lagi? Apakah kamu sedang bimbang untuk kedua kali?”
“Bukan Giska. Hal ini berbeda. Aku ini sudah pernah menyakitimu dan bagiku kesalahanku lalu tidak bisa termaafkan,”
Ya aku masih ingat dengan jelas. Ingatanku mungkin akan selalu menyimpan piringan hitam kejadian menyakitkan itu, saat ia mengaku jika hatinya telah terbagi. Aku tak menangis. Hatiku terasa kosong dan hampa. Justru aku tersenyum dan mengusap air matanya yang mengalir. Aku merasa semua ini akan segera berlalu jika kami sama-sama berusaha saling memperbaiki diri.
“Hal itu terjadi juga karena sikapku yang terlalu keras dan bertingkah seenaknya sendiri,” ujarku.
Ganti dia yang diam. Bunyi keran air di seberang menggantikan suara lembutnya. Aku seperti sedang bicara sendirian. Tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah.
“Aku merasa, aku tidak pantas untuk menjadi orang yang paling kamu sayangi,”
“Valdo Ardian Saputra. Dengarkan kata-kataku,” potongku tak sabar sambil berkaca dan menatap wajahku yang sedikit mengerikan. Mataku bengkak dan menghitam, sial mungkin aku menangis sambil tertidur.
“Apakah kamu sendiri sudah benar-benar bertekad untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu?” tanyaku lagi seraya mengompres mataku dengan handuk kecil dan segenggam es batu.
Valdo, nama kekasih yang sangat kusayang dan sekaligus sangat membingungkan ini tetap nyaman dengan keheningan. Aku membayangkan kalau ia sekarang sedang menatap air yang memancar dari keran dengan sikap khidmat, terhanyut dalam pusaran air dan pikirannya sendiri. Jika berbicara tentang luka, sebenarnya aku juga menjadi pihak yang sangat menderita. Perempuan mana yang siap mendengar cerita bahwa kekasihnya sempat berpaling pada perempuan lain. Pukulan telak itu membuat duniaku sempat kabur, namun sebelum aku meledak murka, aku berpikir sejenak.
Selama tiga tahun aku menjalin kasih bersama Valdo, aku menjadi sosok egois yang tak mempedulikan perasaannya. Aku sering menyalahkan Valdo atas hal-hal sepele yang seharusnya tidak menjadi masalah besar. Pelan-pelan aku melatih Valdo untuk berpaling. Pasti dia menjadi begitu lelah dengan sikapku hingga akhirnya ada seorang perempuan yang memerhatikannya, hingga hatinya terbagi.
“Halo, halo, kamu masih di sana kan Giska?” suara Valdo membuyarkan lamunanku.
Aku berkaca sekali lagi. Bengkak di pelupuk mata sudah mulai berkurang,”Iya aku masih di sini,”
“Aku sangat mencintaimu, tapi aku tak tahu apakah aku pantas untuk menjadi pendamping hidupmu. Mungkin sebaiknya kamu mulai membuka mata dan hati pada orang lain,”
Aku terkesiap mendengar ucapan Valdo barusan. Mudah sekali ia berkata seperti itu? Apa dia pikir, hanya dia satu-satunya yang hancur? Aku tak pernah menyangka jika ia tega berbicara seperti ini.
“Hmm, aku sudah memaafkan dan kamu juga sudah menunjukkan banyak perubahan baik.  Tetapi jika sampai sekarang rasa bersalah membuatmu tidak mau berjuang bersamaku lagi, apa yang bisa kulakukan? Kurasa sebaiknya kita merenung sendiri-sendiri dulu. Sudah ya, aku harus mandi dan sarapan, sampai pikiranmu dan pikiranku tenang, kita bisa melanjutkan pembicaraan lagi.” tanpa menunggu salam dari Valdo aku memutuskan telepon.
***
Sepanjang perjalanan menuju bioskop, aku hanya diam dan menatap jalanan Surabaya yang cukup lengang di hari Minggu. Riva, sahabat baikku, berkali-kali mengomel karena aku tidak terlalu menanggapi ocehannya.
“Udah deh Gis. Sekarang kan kita mau nonton plus hang out buat seneng-seneng. Mukamu jangan ditekuk macam kasur lipet gitu dong,” omelnya. Riva menjemputku siang ini untuk menghiburku yang sedang galau- itu menurutnya. Aku sendiri merasa justru yang butuh dihibur adalah dirinya, karena sepanjang perjalanan ini Riva terus mengomentari orang-orang di sekelilingnya seolah semua orang telah membuat kesalahan dan pantas menjadi sasaran komentar pedasnya.
“Iya makasih kamu udah ngajak jalan hari ini. But can you stop complaining?” ujarku lirih, telingaku sudah pegal menampung semua komentar-komentar miringnya. Terlepas dari semua itu, Riva adalah sahabat baik yang sangat perhatian denganku, sudah hampir sembilan tahun kami berteman dan dia menjadi orang yang paling cemas dengan kondisiku sekarang.
Dengan tangan kanan memegang setir mobil, Riva mencubit bahu kananku gemas,”Huuh, kamu ini? Maaf kalo aku nyerocos sampai bikin kuping sakit, but I looked everything around us is so mess,”
Lebih berantakan hatiku,’ keluhku dalam hati,
 Kami akhirnya sampai di mal tempat kami akan nonton. Saat aku baru turun dari mobil, Riva berlari ke arahku dengan wajah aneh,”Gis, lihat arah jam tiga,” perintahnya.
Aku menoleh ke arah yang ditunjukkannya. Berdiri seorang pria cukup jangkung dan gagah dengan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya sempurna. Pria itu bersandar di samping mobil Yaris warna hitam miliknya, sembari mengutak-atik handphone.
“Hmm, target? Atau itu salah satu mantanmu yang entah keberapa?” tanyaku penuh selidik. Riva adalah gadis yang mudah jatuh cinta. Dia paling lama betah berpacaran hanya dalam tempo dua bulan, tapi dia tidak pernah berselingkuh hanya saja dengan  Riva mudah sekali bosan.
Yang tak kusangka, pria itu menoleh ke arahku. Aku tertangkap basah sedang memelototinya dengan penasaran,”Giska!” panggil pria berkacamata itu.
“Hah, siapa dia Gis? Kenapa kamu nggak pernah ngenalin cowok sekeren itu sama aku sih?” gerutu Riva.
“Aku sendiri juga lupa siapa dia, Riv!” sergahku.
 Pria itu berjalan mendekat ke arahku dan Riva. Ia tampak keren dengan balutan jins biru tua belel dengan kaus polo berkerah warna hijau tua, serasi dengan kulitnya kuning kecokelatan.
“Sudah lupa denganku ya? Ini aku Kevin, teman sekelas waktu SMP dulu,” Kevin menyebutkan namanya sambil melepas kacamata hitamnya. Astaga ternyata dia Kevin yang dulu tubuhnya kurus kerempeng dan pemalu itu, sekarang telah berubah menjadi pria macho dan gagah seperti ini.
Seketika aku terlempar pada kenangan belasan tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SMP. Kevin yang dulu sangat canggung tetapi cerdas, telah merebut perhatianku saat kami duduk di bangku kelas dua. Matanya tajam dan indah. Kecerdasannya membuatku lebih tertarik dibanding dengan kawan-kawan laki-laki lainnya yang sok pamer kekerenan atau kekayaan. Dulu aku juga sering mendapati Kevin diam-diam mencuri pandang padaku. Namun, semuanya tidak berkembang menjadi kisah cinta karena waktu itu kami terlalu malu untuk mengungkapkan perasaan masing-masing.
“Heh, kok malah ngelamun sih Gis? Jangan-jangan kamu udah lupa sama aku ya?” Kevin mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
Kontan saja mukaku memerah karenanya. Entah kenapa suara Kevin terdengar seperti lonceng yang bersuara nyaring namun tidak membuat sakit telinga. Rasanya ada dentam besar yang mengiringi bunyi itu, gema yang menyenangkan. Ah, gawat apa yang kupikirkan ini?
Aku menggeleng dan tersenyum malu. Kevin balas tersenyum sampai gigi geligi rapinya tampak. Mata itu masihlah sama. Mata tajam bagai telaga yang membuatku ingin menyelaminya.
***
Aku tidak pernah percaya dengan konsep jatuh cinta pada pandangan pertama. Buatku cinta baru bisa tumbuh ketika dua orang sering menghabiskan waktu bersama, mengenal kepribadian masing-masing dan sesekali mengalami pertengkaran yang justru merekatkan hubungan. Cinta yang disebutkan dari pandangan pertama itu bukanlah cinta, melainkan sebentuk rasa kagum. Dan selama ini aku yakin jika kekuatan cintaku untuk Valdo sangatlah kuat walau ia pernah melakukan kesalahan. Tetapi aku lupa, hati manusia adalah benda yang sangat rentan. Pikiran terkadang tak bisa terkoneksi baik dengan hati. Dan aku terlalu sombong untuk mengakui hal itu. Karena hatiku sekarang sedang dihantam gelombang pasang yang membuatku gelisah. Gelombang itu bernama Kevin.
“Malam minggu ini mau jalan kemana?” tanya Kevin ketika kami sedang makan siang bersama di kafetaria dekat kantorku. Kebetulan kantor Kevin dan kantorku hanya berjarak sepuluh menit mengendarai mobil.
Aku berpikir. Sudah dua malam minggu ini aku berkencan dengan Kevin dan aku telah  berbohong pada Valdo,”Aku sudah kehabisan alasan. Dua minggu lalu aku mengarang alasan sedang pergi dengan Riva, minggu lalu aku bilang kalau sedang ada acara keluarga. Minggu ini kurasa aku harus pergi dengan Valdo,”
Kevin mengerutkan alisnya. Mulutnya ingin mengucap sesuatu tapi ia tahan. Kevin sendiri yang mau menjadi kekasih gelapku, walau pasti itu mengiris harga dirinya sebagai pria,”Kapan kamu mau lepas darinya?” tanyanya sabar.
Aku sendiri tidak tahu pasti. Apakah saat hati terbagi, cinta akan benar-benar menjadi adil? Aku seorang perempuan, tapi entah apa hatiku ini sudah berubah menjadi sepengecut ini? Aku tak ingin melepas Valdo ataupun Kevin.
 Melihat kediamanku, Kevin mendengus pendek lalu ia memalingkan tatapannya ke arah lain. Kami sama-sama terseret kembali ke dalam pesona masa lalu. Enam bulan lalu Kevin baru saja putus dari kekasihnya yang tertangkap basah berselingkuh.
“Kamu juga berhak berbahagia kan, Gis? Kamu terlalu baik untuk terus bersama laki-laki seperti Valdo,”
“Aku tahu rasanya,” sahutku,”Sekarang aku tahu bagaimana galaunya ketika hati dan kerinduan kita sedang terbagi. Selama ini aku menyepelekan rasa bersalah Valdo. Jujur, sekarang aku merasa tidak berharga karena sudah tidak setia,” tak terasa dua bulir air mata bening merayap turun hingga pandanganku sedikit kabur.
Sakit ya. Sakit sekali rasanya ketika kita melanggar prinsip kita sendiri. Apakah perasaanku pada Kevin ini tulus ataukah sebagai sebuah pelarian? Apakah perasaanku pada Valdo memang sudah musnah atau aku hanya ingin membalas dendam? Tapi baik perasaanku pada Kevin dan Valdo, sama-sama memiliki ketertarikan sendiri. Dengan Valdo, aku bisa menunjukkan sisi dewasa dan ketegaranku sedangkan dengan Kevin aku bisa menunjukkan semua luka yang kupendam. Aku ini punya dua sisi yang membingungkan.
Drrt, Drrt, handphoneku bergetar, ada nama Valdo terpampang di layar,”Halo,”
“Halo sayang. Malam nanti ada waktu kan? Nanti aku jemput jam delapan ya, udah lama kita nggak nonton bareng,” suara Valdo terdengar renyah. Hatiku sedikit ngilu mendengarkan intonasinya yang penuh nada kerinduan. Kevin membuang muka tanda jengah. Setelah berbasa-basi sebentar aku mengiyakan ajakan Valdo. Sebagian hatiku juga merindukan sosoknya.
“Jadi?” tanya Kevin retoris.
Aku mengangguk dan menyesap habis orange juiceku. Setelah itu aku dan Kevin menghabiskan makan siang kami tanpa berkata-kata. Bahkan saat mengantarkanku kembali ke kantorpun, Kevin hanya diam dan mengemudi dengan kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya. Aku mahfum. Pasti ia sedang terbkar cemburu dan tidak terima dengan ketidaktegasanku.
***
Sudah tak tahan rasanya aku menyimpan kebusukan ini terus-menerus. Tatapan Valdo yang amat mesra dan genggaman tangannya yang erat, menunjukkan betapa rindunya ia kepadaku. Valdo juga membicarakan rencananya untuk segera meminangku, apalagi kami sudah saling mengenal baik keluarga masing-masing.
“Sayang, apa kamu tidak terlalu terburu-buru untuk menikah?” aku berharap rencana ini masih sebatas angan-angan saja.
Valdo menggeleng mantap,”Aku memang merasa tak pantas untuk mendapatkan wanita sebaik dirimu, sayang. Tapi aku tahu, terlalu lama meratapi diri hanya akan semakin menjerumuskan diriku. Aku sadar, hanya kaulah yang ingin kulihat tiap pagi saat bangun dari tidur,”
“Aku selingkuh,” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Efek dramatis muncul di wajahValdo. Wajahnya yang riang berubah menjadi penuh tanda tanya,”Ap..Apa? Tapi bagaimana bisa?”
Dalam satu helaan nafas panjang aku memuntahkan semua gumpalan menyesakkan ini. Herannya, Valdo sama sekali tidak marah atau menghakimi. Menurutnya itu wajar terjadi karena mungkin aku sudah terlampau kecewa padanya.
“Terus terang aku terkejut. Tetapi aku tetap kukuh pada keputusanku. Cintamu itu hanya cinta sesaat, Giska sayang,” Valdo berusaha menjaga ritme suaranya agar tidak bergetar.
Aku berdiri. Kutinggalkan Valdo dengan hati yang hancur berantakan. Kutelepon Kevin dan kukatakan jika aku sudah mengatakan semuanya pada Valdo.
“Jadi, kita sekarang bisa bersama?”
“Tidak. Aku juga tidak akan memilihmu. Maafkan aku Kev,”  kututup telepon sebelum tangisku semakin keras terdengar.
Sempurna. Hujan gerimis mulai turun dan aku tidak membawa payung. Kuputuskan untuk berjalan di bawah hujan, berharap tangisanku tidak menarik perhatian. Hatiku benar-benar patah menjadi dua bagian. Dua bagian itu tercerai bersama dengan dua pria yang sama-sama kucintai. Ah, brengsek sekali aku ini. Selalu berkoar soal kesetiaan dan ketulusan cinta, tapi ternyata ujung-ujungnya nol besar.
“Wanita cantik tidak seharusnya jalan-jalan sendirian di tengah hujan begini,” sebuah suara menghanyutkan membuat lamunanku berhenti. Seorag pria jangkung dengan lesung pipit manis membagi payungnya denganku.
“Terima kasih,” jawabku singkat.
Jantungku yang semula seolah berhenti berdetak mulai bekerja lagi. Hei, ini gila. Aku belum mengenal namanya. Apakah ini tanda sebuah rasa? Tuhan, tolong hentikan waktu sekarang juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar