Minggu, 15 Juni 2014

CERBUNG

Seranting Patah
©Dekik Full

Beruntung aku sakit. Mungkin itu yang bisa terpetik dari masalah yang kuderita. Syukur. Andai tidak, sekedar nama pun aku tak mengenalnya.

***

Tiga Bulan lalu, flu datang mendera. Demam menggigilkan tubuh. Obat-obatan pun masuk. Percuma. Drop kondisi memaksaku rehat total. Akhirnya RSUP Fatmawati menjadi tujuan utama.
Nasib malang atau mujur menjadi jawaban rahasia-Nya. Setelah melewati masa penyembuhan tiga hari ternyata aku gagal total. Chek-up darah pun terpaksa dilakukan. Tiga hari berikutnya aku telah berada di ruang dokter spesialis penyakit dalam. "Anda harus
dirawat total, Pak. Jadi mulai malam ini Anda masuk ruang rawat inap. Tolong urus dan pilih kamarnya."

Plak!
Aku menepuk jidat. Ada apa dengan tubuhku? Tetapi dokter selalu beralasan, belum sepenuhnya analisa itu positif. Tunggu hasil beberapa chek up lagi. Aku pun mengatur surat rawat inap sendirian—maklum, aku di Jakarta memang jauh dari keluarga. VIP Gedung Sularto RSUP Fatmawati pun jadi tempat berlabuh untuk menghabiskan malam-malan berikutnya.

Sekitar pukul 22.30 WIB, seorang gadis berbaju hijau muda dengan paduan jilbab dan topi serasi masuk setelah mengetuk pintu. Aku yang tergolek dengan dua selang pun hanya bisa menatap sayu.

"Maaf, saya chek tensi dan beberapa lainnya Pak," pintanya. Lalu tangan halusnya memegang lenganku. Duh, halus banget. Setiap dia tersenyum, ternyata obat yang
kurasa pahit di mulut sedikit hilang.

"Suka nulis ya, Pak. Sampai segitunya, sakit juga leptop dibawa."
Dia coba menghiburku. Aku sekedar melirik papan nama di dadanya "Reni Indrawati". Hemm ... betul, mata yang lentik dan bening, batinku.

"Bisa ambil urine?"
"Bila tidak bisa?"
"Ya, dicoba dulu?"  Kini dia mencoba membangunkanku. Aku berpura saja untuk sulit bangun. "Satu jarum saya lepas dulu, Pak, jadi biar bisa bawa ke toilet."

"Kenapa tidak kamu saja yang pegang."

Senyumku getir mengiring sedikit pernyataan sindiran untuknya.
"Sebenarnya saya tahu, Bapak pasti malu sakit begini."

Auuw! Sumpah, saat dia cabut jarumnya sakit banget, mungkin dia marah. "Aku bercanda Suster. Jangan siksa begini dong?"

"Makanya cepat sembuh biar nggak kesakitan. Mari saya antar."

Sumpah kedua meluncur di hati. Duh, aku seperti bayi yang dititah. Bedanya yang kurangkul peri cantik, oh ... wangi banget. Aku
pun berkhayal, andai.

***

"Ngapaan cengar-cengir, Mas. Itu gosip!" Telunjuknya mengarah ke TV.

"Nggak aku ingat saja pertama kita bertemu. Jika dulu aku pura-pura pingsan apa kamu berani masuk ke kamar mandi?"

"Yah, kan ada satpam, teriak saja minta mereka angkat. Week!"

"Betul kamu setega itu?" Kini kedipan mataku sedikit menggodanya. Dia pun tersenyum lalu tertawa.

"Emang bila aku masuk dan tanpa sengaja menolongmu, Mas puas ngerjain aku? Kenapa tidak sekarang saja. Rumah ini isinya cuma kita. Dan aku berani datang sendirian, Mas. Wis pasrah bongkokan, jika Mas mau jahat padaku, apa aku bisa melawan?"

Aku diam. Meraih tangan kanannya. Lalu kulekatkan di dadaku. "Nih, perhatikan normal nggak?"

"Ha-ha-ha ... aku masih anak bawang dibanding kamu, Mas. Bila aku ganti tarik tangan ini ke dadaku, pasti Mas nakal. Sory ya, aku ndak bisa dan ndak boleh. Bila Mas paksa. Nih ...!"

Kepalan tangan itu mengena jidatku. Dia menekan pelan. "Lagi dong?" rengekku.

"Ih, godain terus. Aku pulang loh?"
"Pernahkah aku berani kurang ajar padamu, Ren?"

"Pernah!"

Aku membelalak. Aku mengingat-ingat kapan, di mana dan apa yang kuperbuat?

"Kapan Ren!?" Kini aku duduk dan menatapnya dengan serius. "Kemarin malam, Mas berani memegang pipiku dengan pegangan yang lain. Aku takut, Mas. Hingga larut aku nggak bisa tidur."

Duh, dosa apa aku mengenal gadis sepertinya. Jujurnya membuat aku tak berkutik. Memilih diam mungkin lebih baik. Tetapi hatiku tidak mau diam. Rasa tentram menjalar ikuti darah. Panas!

"Awas, sekali lagi berani seperti kemarin, tak laporon ke Ummi, loh!" Dia mengancam, sambil bangkit menuju meja makan. Botol air mineral dan satu gelas kosong ia ambil.

"Minum dulu, habis makan mulutmu bau, tau!"

Sebagai lelaki dewasa, rasanya aku
dipermainkan dengan mudah, baik dari joke dan caranya menghindari masalah prinsip pribadi. Ingin rasanya memeluknya segera, sayang keberanianku belum ada. Aku teramat menghargainya. Aku tidak mau dia menangis untuk kedua kalinya.

Gleg ... gleg!
Aku menetralisir perasaanku. Ya, karena butuh itu saat dekat dengannya.

--***--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar