Selasa, 25 Maret 2014

Kenangan Stasiun Balapan


by. ©full The Kick


KOTA SOLO. Melihat pojok kanan atas HP, tertera 02:02 WIB. Terasa kereta Argo Lawu mulai berlajan pelan. Aku pun mengintip keluar lewat jendela. Terlihat satu-satu penerang ruas stasiun terlewati dan kereta berhenti, tepat saat pandangan mata melihat puluhan warung berjajar dan beberapa lapak penjaja malam diterangi neon. Tak luput pula berbarisan orang-orang yang hendak menjemput berdiri di sisi jauh stasiun. STASIUN BALAPAN, tertulis jelas di atas sebuah pintu.

"Alhamdulillaah ...," gumamku, "aku tiba dengan selamat."

Segera kukemas beberapa sisa bekal yang tertaruh di rak jok, lalu memasukkannya dalam tas dan berdiri antri hendak keluar.

"Huufft!"
"Bismillaah ...."
Dengan sedikit melompat dari pintu kereta, aku pun berjalan menepi melewati beberapa rel.

"Neng Stasiun Balapan
Kutho Solo kang dadi kenangan
Kowe karo aku ...
Naliko ngeterne sliramu ...."

Sebuah baris lagu Dedi Kempot terngiang diingatan. Senyum pun mengembang hingga tak terasa aku telah berdiri di depan lapak seorang wanita tua.

"Ayo ... ngopi sik, Le!" tegurnya padaku dengan menawarkan dagangannya. [1]
"Njeh, Mbah. Wedang Ronde wonten?" jawabku dengan dialek Solo. [2]
"Enten ... monggo lenggah," jawab Simbah dengan mengambil cangkir dan lepek. Aku lalu l menarik kursi kayu panjang untuk meletakkan pantatku yang penat.

***

"Ma—as!!!"

Panggilan itu tak asing di telinga, bersegera aku memalingkan kepala kearahnya.

"Haaah!!!"
Terperanjat saat mata kami—aku dan dia—beradu. Seorang gadis anggun tengah melangkah ke arahku. Berkibasan rok panjangnya. Baju gamis menawan mata dan hijab yang dipakainya pun kian membuatku tak berkedip.

"Da—Danik!" pekikku lirih. Jangan sampai aku salah orang.

Tepat dia di hadapanku, dia bersegera meraih tangan kanan dan mencium ujung jemariku. "Ya aku, Radiyani-mu, Mas!" jawabnya dengan senyum—tentunya terindah untukku. Belum juga selesai kekagumanku, dia menyodorkan handuk kecil, sikat gigi dan beberapa peralatan mandi—bau harum alias bau toko. Aku masih berfikir begitu perhatiannya padaku hingga hal sekecil itu dia perhatikan.

"Eh ... bengong!" sergahnya, "mandi dulu, Mas, karena tidak mungkin di kost khusus putri, Mas akan mandi!" lanjutnya. "Lagian badanmu dah cem-acem!"
"O—o, ... ya!" Aku masih tergagap.

Plak!
Jemariku pun menepuk jidat. Kenapa 180% dia—Danik—berubah, ya? Dulu dia lugu, dulu pemalu. Dan dulu dia tak semodis sekarang. Atau karena anak kuliahan? Uuuh, jadi ... jadi minder, batinku.

"Ayo! Jangan bengong, ahhh!" Tarikan tangannya menyadarkanku dan kami pun berjalan menuju kamar mandi di pojok kanan stasiun.

***

"Nambah, Le!"
Teguran Simbah penjaja wedang Ronde membangunkan khayalanku.

"Oh ... njeh, Mbah!" Lalu kusodorkan secangkir kosong itu. Sepotong bakwan pun ikut
kusumpalkan di mulut.

"Kalau ke RS Moewardi, enaknya nitih nopo, Mbah?" [3]
"Makan disik, Le. Suaramu tidak jelas," jawab Simbah.
"Oh, ... maaf, Mbah? Kalau ke RS Moewadi nitih nopo, Mbah?" tanyaku mengulang karena pertanyaan pertama terganjal bakwan.

"Ojek wae, Le. Dekat kok! Tapi sebaiknya rehat dulu, tunggu agak pagi saja," jelas Simbah.

Lalu kami asik bercerita tentang kehidupan malam di Stasiun Balapan. Dari pengalaman Simbah menjaja berpuluh tahun di sini.

***

Dalam kamar mandi, aku masih meluput penasaran. Kok dia sudah ... oh, sudah sedewasa ini. Ya, karena mungkin tempat kuliahnya yang mengubah pola pikirnya. Tidak seperti masa SMU dulu, walau cantik siih .... Dulu dia berambut panjang, dua dekik (lesung pipinya) masih sama, bulu mata lentik pun juga dan yang cerianya, duh kini tambah menggelitik hatiku. Mungkinkah aku kembali jatuh cinta? Gejolak batinku.

"Gimana sekarang?" tanyaku.
"So ... sweet!" jawabnya riang, sesungging senyum terhadiahkan untukku. Dari caranya
menatapku, dari cara berbody laguage[4], dan dari gerak-geriknya. Aku rasanya kembali dimanja oleh Ibu.

"Hemmm sekarang ... makan! Karena Mas yang sudah kerja, jadi traktir ya ...," lanjutnya
menggoda.
"Kok? Aku tamu kan, Nik!"
"Ya ... tamu hatiku!" jawabnya masih seperti cinta SMU-ku. Masih tanpa sedikit pun sungkan.
Dan, bedanya cara memperhatikan keadaan dàn pola pikir yang hendak aku lakukan sepertinya dia bisa menjawab sebelum aku utarakan.

"Sini saya yang lipat. Dan masukin!" Sembari meraih handuk di pundakku, serta secepat kilat menyodorkan plastik hitam dan membukanya. Settt, settt ... sett. Selesai melipat handuk, tanpa pikir panjang lagi kembali dia menariku. Kali ini tujuannya di sebuah warung makan.

"Gudeg ... njeh, Bu. Kalih?" Danik memesan dua porsi makanan. "Di kost tidak ada nasi, Mas! Hihihihi ...."

Ampuuun! Tertawanya membuatku berdesir-desir ..., puiih rindu ini seperti gunung es yang meleh. Meluber ke ruas-ruas jantung, darah dan nadiku. Rasanya ingin mencubit sesuatu di pipinya.

"Kok!?"
"Apa? Aku berjilbab!"
"Tidak ...tidakkk! Tidak jadi ... sudah kau tebak!"
"Hahaha, Masku yang dulu bawel, kini ..., weeek! Hihihi ...."

Semakin pucat mukaku, karena dia kian menggoda. Andai bukan di warung mungkin
sendokku telah terlepas.

"Tapi Mas makin ganteng, lho?!"
Duh, sabel pedas yang aku kunyah terasa manis, sayur ini entah enak atau tidak, yang jelas saataku makan tak beda dengan makanan di mall-mall atau resto terkenal di Jakarta. Aku melambung. Akhirnya kami disibukkan dengan sepiring hidangan. Setelah selesai dan membayar, baru aku teringat, "Kamu ke sini sedirian?"

"He—eh, yuk ... motornya ada di parkiran. Ini demi ... demi kamu, Mas!"

Duuuaar!
Petir menggelegar dalam dada. Dag ... dig ... dug! Menampar jantungku—GeRe kali. Aku terbang oleh kekata mautnya. Pagi ini terjatuhi durian. Pagi ini aku tertawan perasaan. Dan pagi ini aku katakan dalam hati, ini adalah salah satu kisah terindam dalam hidupku. Dia pun menggandengku tempat parkir.

***

Motor tua membawaku pagi ini untuk mengintip suasana kota Solo. Pemandangan yang mengasikkan. Beberapa pengendara ontel lalu-lalang, sayang hal ini tak bisa kunikmati dengan sempurna karena aku telah tiba di depan loby RS Moewardi.

***

Empat tahun semenjak perpisahan sekolah SMU kami terpisah, dan pagi ini hampir disuasana yang sama cuma berbeda status, Danik mengajakku berkeliling di antara ruas-ruas gedung. Universitas Muhammadiyah Surakarta begitu bunyi pengejekaku kala memasuki gerbang tadi.
Kami lalu memutuskan untuk duduk dan bercerita tentang hidup setelah SMU, 'ngalor-ngidul', 'ngetan bali ngulon' seperti itu pepatahnya. Titik-titik perpisahan kami, detik-detik pembeda, rasa hilang, tertawar sinar mentari pagi dan senyum ikhlasnya.

"Lalu ... nanti ke kantor cabang jam berapa, Mas?"
"Ah ... malas, enakkan di sini," jawab. Aku coba satu trik cowok, penggoda!
"Hihihi ... ono-ono wae, gak mutu!" terkekeh tawa Danik, walau dia tutup mulutnya dengan jemari kanannya.[5]
"Lho? Salah ... to?"
"Gak, gak nate salah pean, Mas!"
"Lha, itu tadi!"
"Ya, paling untuk sekedar bunga-bunga bicara, Mas, wae. Basi .... basi ...! Basa-basi ...,"
jawabnya sembari melemparkan kerikil, entah ... dia dapat dari mana tadi, aku tak sempat memperhatikan. Ya ... aku masih kikuk, memandangnya lekat pun curi-curi saat dia berpaling ke tempat lain. Aku masih grogi. Aku masih takut untuk memulai lagi kenangan yang berlalu.

"Aku kuliah di sini, minimal aku bisa berubah.seperti sekarang, Mas. Kegiatan ROHIS kampus ternyata membawa hasil positif. Walau besok entah, aku belum tahu mau jadi apa."
"Ibu rumah tangga!"
"Hahaha ... bila berani, datang dan mintalah pada ayah-ibu di rumah."
'What?"
"Sudahlah ... aku nanti ada ujian juga Fisologi Manusia, jadi ... Mas di antar kemana, niih?"
"Nik, Kamu marahkah? Atau kàmu sudah ada pilihan? Kenalkan padaku Nik?!"
"Oh ... tidak. Aku juga sama sekali belum memikirkan cowok semenjak lulus SMU. Aku masih menyimpannya. Mungkin kita terlalu serius, Mas," jawabnya sembari menghindari pandangan mataku.

Dari perkataannya yang teduh. Dari cara menghormatiku. Aku jadi yakin geresan kenangan kami masih jelas tersambung. Aku memutuskan untuk berfikir dan mungkin nanti ada saat yang terbaik untuk mengungkapkannya.

***

"Stop, Suster! Tunggu!" sergahku. Setelah berkeliling mencari sebuah nomor kamar rawat inap, dan baru saja hendak menemukannya, namun beberapa sustet telah mendorong tempat tidur kakakku dari ruang tersebut keluar.

"Mas, yang sabar. Operasi ini pasti lancar. Maaf aku datang telat."
"Yo, Kik. Insya Allah," jawab Kakak dengan jelas.

Lalu kami berjalan ke ruang operasi dan saya mengikuti di sampingnya sembari menjelaskan sesuatu halnya.

"Ibu-bapak, paling sebentar lagi juga datang Kik, karena jadwal di percepat, dokter ada janji bedah di tempat lain," jelas Kakak. Oh, pantas kok tidak ada yang menunggui Kakak, batinku memikirkannya.

***

Hari yang sempurna, lengkap, manis dan sukses. Pagi dihidangi percakapan indah, bahkan sesekali joke-joke Danik terkirim lewat SMS sewaktu bekerja, dan aku pun membalas dengan ledekan-ledekan juga. Tepat 18:00 waktu Solo, setelah berjanji bertemu kembali di Stasiun Balapan, Danik menepati janji yang kedua di tempat yang sama. 30 menit aku manfaatkan untuk mengungkap rasa hatiku dan LDR pun kenyataan. Dia menerima uluran cinta yang kedua—karena SMU juga.

"Neng Stasiun Balapan
kutho Solo kang dadi kenangan
Da ... da--da sayang ...
Da, selamat jalan"

Bait-bait lagu kembali mengisi batas khayalku. Jemari tanganku masih terasa hangat oleh ciuman bibirnya. Oh, ... betapa bodohnya aku. Karena mimpi itu tak pernah bisa kuwujudkan karena ketakutanku akan arti "tanggung jawab seorang suami" yang membelenggu pikiran waktu itu. Padahal dia sering mengatakan, "Aku siap, Mas!"

Entahlah setan mana yang menggodaku. Dia yang sempurna untuk ukuran kaum hawa baik dari pendidikan agama, ilmu dunia dan yang terpenting keikhlàsan menerima aku apa adanya. Tetapi aku bersiteguh dengan kata hati. Ini bukan takdir jodohku. Begitu bodoh aku mengambil keputusan. Aku yang lenyap dan membuangnya jauh hinggaJadi kenangan STASIUN BALAPAN, SOLO. Tak berani mengambil keputusan terpenting. Menyedihkan!

***

Kreeek!
Pintu ruang bedah terbuka. Seorang perawat keluar lengkap dengan masker, sarung tangan, dan perlengkapannya.

"Suster, bagaimana Masku?"
"Mas!!!" Suara dan tatapan itu persis sembilan tahun lalu. Dan ...
"Oh ...." Mataku dan mata Sustet beradu. "Da—Danik!" desisku sembari menutup mulut dengan jemari tangan. Mataku terbelalak. Rasanya tak percaya.

"Masmu sukses dioperasi, Mas, tunggu saja di ruang rawat inapnya, sebentar lagi kami antar lengkap dengan laporannya," jawabannya dingin. Dia pun berlalu meninggalkanku mematung diri dikenangan. Aku terlemas dalam kebodohan.

--end--

[1] minum kopi dulu, Nak.
[2] Ya, Mbah. Wedang Ronde ada?
[3] naik apa?
[4] gerak tubuh
[5] ada-ada saja
Jakarta, 09 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar