Selasa, 10 Maret 2015

SECANGKIR KOPI UNTUK TAMU-KU

(sumber: google) SECANGKIR KOPI UNTUK TAMU-KU Oleh; Fitri Wulan Aku berjalan malas di trotoar dekat pedesaan tempatku tinggal. Pagi ini, tepatnya subuh ini suasana masih lengang hanya beberapa toko dan café yang sudah mulai ramai. 05.30. Aku menoleh, memandang lekat café tepat di seberang trotoar yang kutapak. Aku menekan dadaku. Masih. Rasa sakit itu masih terasa basah. Aku memalingkan pandangan ke arah bangku kosong yang kerap kali membawaku pada ingatan menyedihkan itu. Tapi kali ini bangku itu tidak kosong, aku menyipitkan mataku memperjelas pandangan yang mengherankan. Siapa dia? Pertanyaan pertama yang terluncur ketika seorang gadis cilik dengan syal merah rajutan itu duduk manis, diam, melamun. Dengan secangkir minuman, entah apa yang dihadapannya. Aku mengernyit. Itu bukan urusanku dan aku tidak tertarik. Aku melenggangkan langkahku, tak menyadari pandangan yang kini menelusur tiap inchi tubuhku yang mulai terlelap dinginnya pagi ini. *** “Darimana saja kau?” suatu suara membelalak pagiku yang temaram. Aku mengeluh, menggulung selimut yang kini terasa lebih dingin dari es beku. “Apa?” aku menyeret kaki paksa, memutar kenop pintu yang mulai berkarat. “aku di sini,” lanjutku melangkah turun. “Jangan mengelak Arza. Sandalmu begitu basah dan kau bilang kau tidak kemana-mana?” lelaki di bawah sana menyeringai meski tak ada sedikitpun terlukis lekuk keterkejutan di wajah pemuda yang kini ada di hadapannya. Lelaki paruh baya itu tiba-tiba mengayunkan telapak tangannya yang ringan dan berakhir dengan suara ‘Plakk’ tanpa ada jeritan keluar dari pemuda itu. Sudah barang biasa, itulah jawabnya. “Berhentilah memegang harapan konyolmu itu. Bintang di langit takkan turunhanya karena tangisan cengengmu. Tidak pula wanita itu…” “Berhenti menyebut ibuku dengan sebutan itu. Kau harus tahu betapa aku membenci mulut kotormu itu.” Aku memotong ucapannya. Tanpa meneruskan perbincangan inipun aku tahu, kalimat selanjutnya yang akan ia rangkai.Kuseret langkahku tanpa menghiraukannya lagi. “Beraninya kau. Apa karena tumbuh tanpa orang tua, kau menjadi harimau yang tak tahu terima kasih? Kau harus tahu batasanmu, Nak.” Aku tak menoleh lagi, tak lagi bernafsu mengucap sepatah kata. Diam dan semuanya akan selesai. ### “Aku sungguh tak suka sekolah.”Aku menggumam, memandang bintang yang tak lagi menampak. Aku mendesah. Kenapa pelajaran begitu membosankan? Lebih baik aku melamun seharian daripada harus membuang waktuku yang berharga hanya untuk mendengar ceramah hangat yang rasanya tak ada habisnya. Langkahku tiba-tiba terhenti dan ketika sadar aku sudah kembali menginjak trotoar itu. Ini melelahkan, gumamku pasrah. Kembali menoleh, tepat pada papan kayu dengan ukiran indah Café Coffe “CC”. Aku tersenyum perih, ada terlalu banyak kisah tak ber-ending pada bangunan mungil di sana. Aku hampir mengangkat pergi sebelah kakiku, sebelum kemudian ekor mataku menangkap gambar lain di sana. Seorang gadis dengan syal rajutan merah dan secangkir minuman di hadapannya. Gambar lain yang kulihat mulai kemarin, dan terus mengisi bangku di ujung sana yang seharusnya kosong. Ini aneh, dan untuk alasan konyol itu aku mendekat dan semakin mendekati gadis itu. Ia tetap diam. Aku mulai duduk di sampingnya, menunggu barang beberapa menit untuk mendengarnya menyapaku. Sia-sia. “Hai?” ucapku kaku. Dia menoleh. Aku mulai gugup, ini kali pertama aku berucap pada seorang setelah beberapa dekade hidupku. Dia terus menatapku dengan cara yang sama ketika ia melamun. Tetapi melihatku yang hanya diam kembali tak bereaksi, ia memalingkan wajahnya. Seolah aku pergi. “Apa aku mengganggumu?” aku menelan ludah. “Kau cukup sopan.” Jawabnya tanpa menoleh. Tapi itu bukan jawaban normal dari seorang yang normal. “Apa maksudmu?” kejarku bimbang “Kau tak mengambil bangku kosong di depanku, mengapa?” aku tertegun, tapi tetap meneruskan ucapanku. “Aku hanya merasa kau sedang menunggu seseorang.” Aku melirik cangkir minuman itu. “dan tentunya aku bukan orang yang sedang kau tunggu. Benar?” “Entahlah.” Ucapnya santai. Ia tersenyum, manis. Menoleh pelan ke arahku, berbisik. “bukan aku yang menentukan. Itu tergantung padamu.” Lanjutnya semakin mengherankanku. Kuputuskan mengakhiri percakapan gila yang kumulai sendiri. Gila, sejak kapan aku melakukan hal konyol seperti ini. aku beranjak pergi. “Ini kopi yang sangat manis, kau tak mau mencobanya?” Ia mulai menawariku. Aku terhenyak. Kopi? Sudah lama aku membuang kata itu dalam kamus hidupku. Dan sekarang dengan santai gadis itu mengucapnya padaku. Aku hanya menggeleng. Pembicaraan ini tak kuinginkan, batinku cepat. “Aku pergi.” Ucapku membatas. *** Dan begitulah kehidupanku selanjutnya. Sekolah, pulang, dan menghampiri gadis misterius itu. Mengajaknya bercakap, hanya beberapa kalimat. Lalu dia akan menjawabku dengan cara yang aneh, namun aku menyukainya. Lalu ketika aku merasa kehabisan kosa kata, aku akan menghindar dan pergi. Tapi dia selalu menawari secangkir kopinya di saat kepergianku, tersenyum dan akhirnya dengan gelisah aku meninggalkannya seorang diri. Bergelut dengan dingin malam ketika aku melangkah menjauh. Kemudian sesuatu yang lain mulai mengisi rongga nadiku. Membuat debar jantungku yang kian memuncak. “Aku merindukan wanita itu.” Kataku suatu waktu. “Wanita itu?” untuk pertama kalinya ia terlihat keheranan dengan alis matanya yang terangkat. “Ibuku, aku sangat merindukannya.” “Apa aku cukup pantas untuk membuka telingaku?” aku tak menghiraukan pertanyaannya dan terus mengatakan segalanya. Segalanya tanpa jeda. Ibuku, kisah hidup terdalamku yang kupeti baik-baik dengan sekejap saja semuanya berpindah ke ingatan-ingatan gadis itu. Aku yakin ia akan mengingatnya, tepatnya aku berharap itu yang terjadi. “Lusa aku berulang tahun. Maukah kau datang kemari hari itu?” “Ulang tahun? Aku tak percaya kau menyinggung hal-hal seperti itu sekarang?” “Jangan salah paham. Itu karena ada yang harus kau lihat saat itu.” “Apa aku akan senang?” Dia mengangkat bahunya lembut. “Buktikan saja lusa. Jangan pernah menerka hal yang belum pernah terjadi.” Ia mengusap punggung tangannya. Mungkin kedinginan. “dan apakah kau tidak mau mencoba kopi ini? Sangat manis. Percayalah.” Tapi aku masih menggelengkan kepalaku. Mungkin belum saat bagiku untuk mengangguk. Belum. *** “Ibu harus pergi, Nak. Ibu sungguh harus pergi.” “Kemana?” wanita itu tertegun. Putra satu-satunya bertanya “kemana” dan bukan “kenapa”. “Kenapa kau tanyakan itu, Nak?” “Aku akan mencari ibu ketika aku tahu kemana ibu pergi, tapi aku hanya akan menangis ketika aku tahu kenapa. Jadi kemana ibu akan pergi?” lelaki itu terus menggenggam tangan lembut malaikat cantiknya. Malaikat yang sungguh cantik. “Kau tidak boleh menangis. Tidak boleh, kau putra ibu yang kuat. Jangan menangis. Ingat itu, Nak.” Wanita itu mengusap perlahan air mata yang mulai menyembul di ujung pelupuk mata sang anak. “minumlah kopi ini. Sangat manis, percayalah.” Lanjut wanita itu tersenyum. Anak lelaki itu menurut, dan mengambil cangkir putih di hadapannya. Tangan gemetarnya terhenti seketika. Seteguk kopi hitam yang meluncur bebas di tenggorokannya membuatnya berpaling. “Ini pahit. Sangat pahit.” Ucapnya kemudian. Tetapi sang ibu hanya menangis dan menggeleng. “Minumlah dengan melihat ibu. Perhatikan ibu, maka kopi itu akan sangat manis, Arza.” Arza menurut, dan senyumnya mengembang seketika. Tetapi kebahagiaan itu hanyalah penutup, penutup dunianya yang dengan sesak ia pertahankan bersama wanita yang kini kini terduduk kaku, meninggalkannya karena berjuang dalam miskin diantara gerus-gerus manis liver yang di deritanya. *** “Aku mungkin memang sudah gila.” Gumamku ketika kulihat gadis dengan syal rajutan merah itu hanya terpaut lima langkah dari jarak jangkauku. Aku mendekatinya, dan hendak duduk di sampingnya, tapi dia menahan tanganku segera. Tangan yang dingin tetapi sungguh mendebar diriku. “Duduklah tepat di hadapanku,” ucapnya ramah. “Tapi tidak seharusnya…” “Aku ingin menatapmu dengan lebih jelas.” Aku kembali tersentak. Apa dia sedang menggodaku? Tapi mungkin aku benar-benar tergoda. Karena sekarang aku bahkan yang memperhatikannya lebih. “Dengan siapa kini kau tinggal?” tanyanya tiba-tiba. “Seorang kerabat yang bukan kerabat.” Ucapku akhirnya. Kuakui dia sungguh aneh sekali. “Aku harap kau mulai berbahagia dengannya mulai sekarang.” “Apa itu do’a mu?” di menggeleng cepat, menatapku. “Ini permintaanku, kado yang kuminta darimu untuk ulang tahunku sekarang.” “Sekarang aku berfikir, ini benar-benar tak masuk akal. Mari jangan membicarakan hal itu.” “Aku menyukaimu, Kak.” Aku tertegun. “dan karena itu aku memintanya. Aku harap kau memberikan kadomu itu.” “Apa aku harus pulang sekarang?” ucapku hendak beranjak. Tetapi lagi-lagi dia menahanku. “Untuk beberapa alasan yang tak bisa kuungkapkan, tetaplah tinggal sampai tahun baru tiba.” Dia tersenyum. Aku mengurungkan niatku dan duduk kembali. “minumlah kopi ini, Kak. Sangat manis, percayalah.” Aku menyentuh cangkir itu dengan ragu-ragu. Memandangnya untuk waktu yang cukup lama. Tetapi kemudian aku mengangkatnya dengan kedua tanganku yang gemetar. Meneguk bulir demi bulir kental hitam tanpa melepaskan pandanganku dari gadis itu. “Kau benar, memang sangat manis.” Ujarku menaruh kembali cangkir itu. “aku…” 12.00—31 Desember 2013 “Aku sangat berdebar saat ini, detik ini.” potong gadis itu sambil tersenyum padaku,. “ini untukmu,” secarik kertas yang sangat lusuh, basah akan peluhnya. Sebelum aku sempat membukanya, dengan cepat dia melangkah ke arah jalanan yang sejak tadi ramai di padati truk-truk pengangkut dan bis-bis besar antarkota yang melaju kencang. Dia terus berjalan, aku tak mengerti arah pemikirannya. Tetapi kemudian sekujur tubuhku merinding, bergetar dengan hebat. Detik selanjutnya, sebelum aku sadar tubuh jenjang gadis kecil itu terpelanting jauh setelah sebelumnya menyentuh keras bagian depan sebuah truk yang melaju. Aku berlari kalang kabut di tengah ketidaksadaranku, memburu nafasnya yang tak lagi teratur, memburu debarnya yang mulai menghilang. 12.01—1 Januari 2014 Aku menangkap tubuh hangatnya yang segera mendingin, menatapnya lekat-lekat dengan ketakutan yang tak dapat kusembunyikan. “Kau…kau…apa yang kau lakukan?” dia hanya tersenyum. “jangan diam. Kumohon, ucapkan sesuatu. Jawab pertanyaanku.” Aku mulai menjerit, menyentuh berulang pipinya yang basah akan cairan merah segar. Cairan yang mengundang pula jerit pekak di sekelilingku. “Kau tidak menanyakan namaku?” aku tertegun, menyadari selama ini kami bahkan tak pernah berkenalan. Tetapi kenapa dia harus mengucapnya kini. “S..ssiapa namamu?” ucapku akhirnya. Terus menatap kaku wajah manisnya. “Sofi, namaku Sofi.” Ucapnya terengah-engah. “jadi akhirnya kita mengenal.” “Tidak. Teruslah bernafas, kumohon. Ambulan sebentar lagi datang. Kumohon.” “Aku akan menyampaikan kerinduanmu yang begitu hangat untuk ibumu, Arza-ku..” aku mohon. Lindungi gadis ini, ibu. Aku tahu ini sudah terlambat dan mata indahnya sudah tak lagi berkedip. Untuk alasan itulah aku memeluknya, memeluk tubuh yang masih terasa hangat, masih. Ibu aku tidak akan pernah menangis. Aku ingat janji itu. Tapi ibu, ada kenyataan yang lebih menyakitkan. Aku menyukai gadis ini, dan untuk itulah kau harus memaafkanku karena menangisi kepergiannya. Aku benar-benar menyukainya, tapi aku tidak mampu mengatakannya. Bahkan tidak mampu sekedar untuk melindunginya. ** Sepanjang hidupku kuhabiskan untuk menunggu tamu yang bahkan tak kukenal. Menunggu seorang saja mengenalku di dunia ini. dengan secangkir kopi aku mempertahankan impian itu. Tak ada keluarga, tak ada kerabat, tak ada siapapun. Tapi aku bersyukur seorang tamu istimewa datang ke hadapanku suatu waktu, menyapaku, meminum kopiku sambil menatapku. “kopi ini sangat manis.” Aku bersyukur dia mempercayainya. Tetapi janjiku kemudian untuk membatas waktuku tiba. Satu detik saja diantara sekaratku, aku ingin melihatnya berlinang untuk rasa sakitku, satu detik saja, lebih dari cukup. Tamuku itu, aku ingin mengatakan padamu jangan melewati jalan yang yang kutapak sekarang. Karena sakit sekali bukan? Jadi hiduplah dengan bahagia, hiduplah untuk orang lain. Jangan hanya dengan secangkir kopi, tapi dengan seribu cangkir kopi, biarkan dunia menghirup manisnya harapan dalam kopimu. “Kupegang harapan dalam kertas ini, dan kuberikan kadoku seperti yang kau inginkan. Itu janjiku kini, Sofi-ku. Aku akan merindukanmu. Sangat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar